Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

DomaiNesia

Cerita Kampus: Tewasnya Sang Raja


Hahahaha

Tatkala datang pagi yang berbeda dari pagi biasanya, saat setiap pelosok negeri diributkan oleh suara-suara gaduh dan nyaring yang saling bersautan..ramai..gaduh..malu..

Ribuan orang berduka, mereka berjalan sepanjang jalan dengan langkah kaki berat, air mata menetes disetiap wajah rombongan, nafas mereka tak beraturan diringi isak tangis tiada henti. Setiap makhluk di sepanjang jalan menatap rombongan tersebut, ada yang bergabung dengan rombongan, ada yang sekedar melempar bunga, ada yang menangis sampai pingsan, dan ada yang tertawa kegirangan.

Matahari mulai tinggi, tempat persemayaman sang raja tak kunjung sampai, namun semangat rombongan belum pudar bahkan mereka semakin lantang meneriakan doa-doa bagi sang raja, semakin lantang seperti orang sedang marah.

Sampai di sebuah perempatan desa yang berdebu, mereka berhenti dihadapan ribuan kereta kuda kerajaan lain yang datang melayat, para manusia bermahkota emas itu turun dan memberi hormat didepan keranda sang raja, dengan doa-doa sedih dan tajam.

Di kejauhan, hadir seorang anak menatap mereka, ia bertubuh tinggi, mata sipitnya memandang kosong kearah rombongan kerajaan itu. Ia sedih bercampur girang, sejak matahari belum menampakan cahayanya ia menelusuri setiap lorong kerajaan untuk mencari keranda sang raja. Di perempatan kotor berdebu inilah ia bertemu dengan keranda sang raja beserta rombongannya yang sedang menyanyikan kidung-kidung kematian, bergiliran.

Keringat kepala mulai menetes di kedua alisnya yang tebal, ia mulai kelelahan. Ia bergegas merangsek ke dalam rombongan tersebut, meskipun umur-nya baru beberapa musim kemarau, namun ia tahu betul kehidupan sang raja, ia gemar mendegarkan kisah-kisah sang raja dari siapapun, ayahnya, kakeknya, pamannya, tetangganya, gurunya, bahkan rajanya walau ia belum pernah bertemu dengan raja yang meninggal di depannya.

Tak lama, setelah mereka mengulang nyayian kidung ke-20012 kali, rombongan yang dipimpin oleh pria tegap tinggi itu melanjutkan perjalanan. Anak kecil itu memperhatikan wajah sang pemimpin rombongan, ia mencoba mengingat wajah garang berjarak tiga langkah di depannya itu, ia terus berjalan perlahan bersama rombongan pelayat sang raja sambil terus mengingat pria di depannya, gerak-gerik-nya, suara-nya, langkah-nya, bau-nya.

Ia menengok kesekeliling, ia ingat bila raja pasti di damping oleh komandan setia, setiap detik. Namun, kini ia tidak melihatnya. Lalu, perhatiannya mengarah ke celurit di belakang celana sang pemimpin rombongan, gagangnya hitam, tajam, mengkilat, dan agak tumpul di ujungnya, ia tersenyum kecil.
Sang pemimpin terus mengarahkan jalan rombongan yang sudah mulai kelelahan. Sesekali ia berteriak kepada setiap petani, pedagang, dan ibu-ibu sepanjang jalan agar bergabung ikut melayat sang raja.

Si anak masih berada ditengah, berhimbitan dengan rakyat kerajaan dengan pakaian seadannya. Hatinya mulai bertanya, meskipun ia tahu raja hari ini meninggal, bahkan sejak semiggu lalu sebelum raja meninggal, tapi sesungguhnya ia belum mengerti betul hal apa yang menyebabkan sang raja meninggal.


Tak beberapa lama, suara tangis berhenti, tak ada suara jeritan, doa-doa maupun langkah kaki lagi. Rombongan telah sampai di astana pesarean sang raja. Rombangan berpisah, mereka menyebar kesetiap sudut area pemakaman. Anak itu ikut menyebar, sedikit berlari seperti mengejar. Pemimpin Adat kerajaan mulai memimpin doa yang diikuti semua rakyat. Si anak menghampiri setiap kepala yang berdiri mengelilingi makam sang raja, ia mulai bertanya perihal kematian sang raja. Tak semuanya menjawab, mereka seakan dihipnotis oleh doa-doa si pemimpin adat., yang menjawab hanya tertawa girang dan langsung meninggalkan prosesi pemakaman, sendiri. Satu persatu orang yang ia tanya dan menjawab langsung tertawa girang hingga tak sadar dan meninggalkan pemakaman, saat berjalan meninggalkan pemakaman pun mereka masih tertawa. Sang pemimpin terus membacakan doa diikuti oleh seluruh rakyat, mereka tidak memperdulikan orang yang tertawa girang berjalan meninggalkan pemakaman. 

Anak itu terus bertanya ke setiap orang, setiap itu pula satu persatu orang yang ia tanyai meninggalkan pemakaman dengan wajah gembira dan tertawa girang. Sang pemimpin terus membacakan doa diikuti oleh seluruh rakyat, mereka tidak memperdulikan orang yang tertawa girang berjalan meninggalkan pemakaman. 

Anak itu masih terus bertanya, ia belum menemukan jawaban, setiap kali bertanya orang tersebut pergi meninggalkan pemakaman, makin lama makin banyak orang yang ia tanyai, makin banyak pula yang meninggalkan pemakaman. Sang pemimpin terus membacakan doa diikuti oleh seluruh rakyat, mereka tidak memperdulikan orang yang tertawa girang berjalan meninggalkan pemakaman. Anak itu masih terus bertanya ia belum menemukan jawaban, sampai ia tak sadar di pemakaman hanya tersisa dia dan sang pemimpin adat, ia mulai bertanya lagi.

Sang pemimpin terus membacakan doa tanpa diikuti siapapun, ia tidak memperdulikan orang yang terus bertanya perihal kematian sang raja. Anak itu menunggu. Sang pemimpin adat terus berdoa, menahan diri. Anak itu menunggu. Sang pemimpin adat tetap berdoa. Anak itu terus bertanya, lalu sang pemimpin adat menjawab, singkat, amin. Sang anak terus bertanya. Sang pemimpin adat menjawab, agar ia mengingat kembali siapa itu sang raja maka dia menemukan jawabannya, satu-satunya orang yang menjawab, tanpa tertawa. 

Anak itu duduk di samping makam sang raja. Sang pemimpin adat diam memandang anak itu, tanpa tertawa. Anak itu memandang makam sang raja. Sang pemimpin adat mulai berjalan perlahan meninggalkan pemakaman, tanpa tertawa. Anak itu mulai mengingat kisah sang raja dari kakek-nya, ayah-nya, ibu-nya, kakak perempuan-nya, kakak laki-laki-nya, tetangga-nya, teman-teman-nya, guru-nya, mata sipitnya memandang ukiran nama pada batu nisan sang raja, semakin ia memandang semakin jelas ingatannya, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, pada ingatannya...

Di kejauhan ia mendengar suara pemimpin adat tertawa girang segirang-girang-nya, tertawa bahagia seperti orang gila, tertawa dan berteriak lebih keras dari orang-orang yang ia tanyai sebelumnya, sampai sepelosok negeri mendengarnya … 

Posting Komentar untuk "Cerita Kampus: Tewasnya Sang Raja"