Cerita Kampus: Mengadu Pada Guru
Cerita
Kampus: Mengadu Pada Guru
Angin subuh berhembus kecil. lima
orang pemuda dan tiga orang wanita berkumpul di sebuah rumah, berbicara serius satu
sama lain, tak seperti biasanya.
Sekelompok
pemuda meluncur cepat dengan menunggang kuda melewati rumah-rumah, jalan-jalan,
hutan-hutan desa, menembus udara dingin subuh, tergesa-gesa. Sesekali mata mereka
saling saut untuk memastikan keadaan, aman dari jangkauan musuh. Pagi hari,
saat matahari masih malu-malu untuk menampakan dirinya. Mereka beristirahat
sejenak di sebuah warung di ujung kerajaan, sekedar melepas lelah, mengisi perut
sang penunggang dan kudanya yang sudah menjelajahi kerajaan hingga perbatasan.
Tak
mau menunggu lama, mereka bergegas melanjutkan perjalanan, perjalanan panjang,
yang mungkin sia-sia, mengadu pada guru sang raja. Sang raja telah dibutakan,
raja lupa akan sejarah dan budaya kerajaannya sendiri. Nenek moyang sang raja
lah yang mengajarkan pada rakyatnya, bila kerajaan ini tidak pernah meminta
apapun pada rakyatnya, termasuk emas. Raja yang pertama hingga yang terdahulu
hanya meminta hasil bumi dari rakyatnya, tidak banyak-banyak hanya sekedar memastikan
sang raja dan para pelayanan kerajaan bisa makan. Kerajaan ini didirikan atas
ispirasi sang pejuang yang membela rakyatnya dari serangan kerjaan asing yang
menyerang tanah mereka. Rakyat lalu membentuk kerajaan dari tanah merdeka,
mengangkat seorang raja, dan mengenang sang pejuang dengan berbagai sebutan, sesepuh,
pahlawan, jenderal perang,bahkan dewa.
Waktu
terus berjalan, matahari mulai tinggi, para pemuda terus memacu kudanya
menembusi hutan-hutan. Tak lama, Mereka berhenti sejenak, mata mereka melihat
seorang anak berdiri tegak menatap tajam kearah mereka di seberang jalan,
mereka diam, waspada. Seorang lelaki turun dari kudanya, menghampiri anak itu,
ia berbincang sebentar, lalu ia kembali naik ke kuda dengan membawa serta sang
anak, para pemuda yang lain hanya melihat tanpa mengeluarkan suara apapun. Mereka
melanjutkan perjalanan. Di perjalanan di tengah hutan, para pemuda
berbisik-bisik, membicarakan anak itu, menaruh curiga. Anak itu memandang jauh
kedepan jalan. Semakin jauh dan semakin dalam, badannya yang kurus bergetar
mengikuti alunan kaki kuda. Mata sipitnya memandang semakin jauh kedepan,
semakin jauh ia memandang semakin jelas ia melihat bayangan, hitam pekat. Beserta
kesedihannya di hari lalu yang sulit untuk ia tinggalkan, mata sipitnya mulai
meneteskan air mata.
Seorang
penjaga sibuk mencari sesuatu di sebuah rumah, ia menggeledah laci, lemari,
kolong kasur, dan semua tempat yang bisa menyembunyikan sesuatu. Orang-orang
rumah histeris, mereka berteriak ketakutan, sang ayah terus dipukuli, di ruang
tengah anak gadisnya diperkosa ramai-ramai oleh penjaga, sang ibu sambil
memeluk bayinya hanya menangis, ia dipukuli, hampir diperkosa. Anaknya yang
lain, hanya melihat keluarhanya dianiaya dari atas lemari, diam, ia takut untuk
menangis. Tiga orang penjaga masih mencari sesuatu, mereka berteriak keras agar
menyerahkan emas untuk sang raja. Diluar terdengar teriakan dan jeriatan yang
sama, saling bersautan. Diluar, banyak samar-samar terdengar suara mohon ampunan
yang direndam suara cambuk. Sang ibu
masih menggendong bayinya, sang penjaga rambut sang ibu, menyeretnya keluar
rumah memaksanya melepaskan sang bayi dan meninggalkan di dalam rumah bersama
para penjaga yang sedang mengganas. Para penjaga masih sibuk mencari, di antara
serbet-serbet, dibalik karpet, sampai toilet, mereka semakin marah. Mereka tak
sadar si anak telah lolos dari rumah, menembus atas genteng. Ia berlari
menjauhi kampung halamannya yang sudah menjadi neraka. Nafasnya hampir habis,
ia terus berlari memikirkan sebuah tujuan yang aman, tempat bermain bersama
teman-temannya di tengah hutan.
Tak
lama Ia sampai dilapangan kecil yang tanahnya tertutup lebatnya daun pohon jati.
Mata sipitnya menuju kearah gua kecil yang dibuat bersama teman-temannya. Ia masuk
kedalam, sedikit berlari. Di mulut gua, ia dilempari batu-batu kecil dari dalam
gua. Ia kaget, bergegas bersembunyi dibalik semak-semak mematau gua. Lima orang
anak kecil keluar dari gua memastikan keadaan sekeliling, mencari sesuatu. Si
anak langsung keluar dari semak-semak, ia menyapa kelima anak tersebut yang
merupakan temannya sendiri.
Kuda-kuda
terus berlarian membelah lebatnya hutan-hutan, pelan-pelan langkahnya mulai melambat,
mereka kelelahan. Para pemuda beristirahat, mereka membiarkan kuda-kuda makan
rumput dipinggiran kota, sambil menunggu teman mereka yang habis berkeliling
kota mencari bantuan. Tinggal sekota lagi mereka tiba di kediaman sang guru. Sambil
melepas lelah mereka sedikit berbincang mengenai sosok sang guru, kepada sang
anak yang bertanya. Seorang pemuda menjelaskan, ia duduk disamping sang anak
sambil menghisap sebatang candu. Sang anak memperhatikan.
Dahulu
saat kerajaan ini belum terbentuk, saat kemerdekaan tanah ini baru di dapat,
dan saat kami mencoba melepas duka selama satu setengah dasawarsa usai
meninggalnya sang pejuang datanglah seorang guru besar dari negeri seberang. Ia
telah banyak mengajar banyak orang, dikenal serta sangat berpengaruh di seluruh
kerajaan manapun. Singkat cerita berdasarkan pengalamannya, ia menganjurkan
rakyat, agar memilih seorang raja untuk memimpin tanah merdeka ini, agar rakyat
yang hidup disini tetap hidup sejahtera. Sang guru menyaratkan raja dan semua
keturunannya mematuhi peraturan yang dibuat. Jika tidak, tak ada alasan baginya
untuk tidak menghukum sang raja. Raja tidak boleh mengambil dan mendulang
kekayaan dari rakyatnya, ia harus membela dan mengutamakan kepentingan sang
rakyat sesuai dengan cita-cita pejuangnya dahulu. Rakyat tidak boleh menentang
keputusan sang raja, keputusan raja adalah amanah yang harus dijalankan rakyat.
Semua rakyat sepakat, sang guru memilih seorang raja. Lalu Keturunannya terus
memimpin kerajaan itu, sampai puluhan tahun kemudian..
Sang
anak berlari memimpin ribuan anak-anak, mereka membawa tali, tongkat, kain,
kertas, dan apapun yang bisa mereka bawa, menuju pusat kerajaan. Mereka merangsek
melewati barisan penjaga yang tidak sadar, anak-anak itu akan menyerang sang
raja. Mereka terus berlari, melewati puing-puing rumah yang rusak parah, pasar
yang terlantar, jalananan panjang kerajaan, tanpa disadari oleh siapapun,
penjaga sibuk mencari emas, rakyat sibuk membela diri, hanya raja yang belum
sibuk. Anak-anak berteriak keras, meneriakan sang raja agar berhenti menjarah
rakyat. Semakin mendekati istana semakin keras teriakan mereka. Para penjaga
masih sibuk menjarah harta, jeritan rakyat semakin keras dan ramai, rakyat
seakan bekerjasama , berusaha membantu teriakan anak-anak suapaya tidak mencuri
perhatian penjaga. Anak-anak memasuki pintu gerbang kerajaan yang terbuka
lebar, mereka masuk dengan teriakan, marah. Para pelayan istana berhamburan
keluar istana, takut. Anak-anak memanggil sang raja, mereka menantang sang raja
tanpa pedang, perisai, ataupun ilmu sihir. Sekejab, seluruh sudut istana di
kuasai oleh anak-anak, sang raja tak ada di istana. Para pelayanan bingung,
mereka lari. Para penjaga bersembunyi dari kejaran rakyat, situasi berubah. Rakyat
dan anak-anak senang tidak ada raja di istana – si pemimpin anak-anak menyuruh mereka
diam, ia memantau sekeliling kota, ia curiga, ia menolak senang “Ini bukan
tujuan kita”, dan mereka mulai waspada.
Sang
raja memacu kereta kudanya, menyelamatkan diri melalui pintu belakang, ia
memerintahkan kusir menuju kerajaan seberang, kerajaan jauh menembus perbatasan,
hutan-hutan, dan jalan-jalan panjang. Ia menuju kerajaan kediaman sang guru..
Matahari
melewati batas tinggi, para pemuda makin tergesa-gesa, mereka hampir tiba di
kerajaan sang guru, panas menyengat tak mereka hiraukan, sang anak duduk di belakang
pemuda, tak sanggup lagi menangis. Ia mengintip sedikit dibalik punggung sang pemuda. Wajahnya
meringis, dilihatnya gapura perbatasan kerajaan sang guru, badannya
lemas, wajahnya setengah memelas. Mata sipitnya sudah tak sanggup lagi
meneteskan airmata…
#30HariMenulis Hari 3
Posting Komentar untuk "Cerita Kampus: Mengadu Pada Guru"