Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

DomaiNesia

Problematika Pendidikan: Pendidikan Rakyat Untuk Semua, Impian?

Pendidikan Untuk Semua, Impian?
oleh: Alexander Agus Santosa


Anak itu masih berlalu lalang menyusuri lorong-lorong kampus melintasi waktu diantara mahasiswa yang sedang sibuk berkumpul. Matahari masih belum tinggi tapi langkahnya sudah jauh, anak itu pun sibuk menjajakan barang dagangannya yang barangkali harapan keluarganya. “Koran, Koran.. korannya mas, korannya mba..”

Mungkin hanya beberapa saja yang mempedulikan teriakan-teriakan kecil itu, hampir semuanya sibuk dengan kepentingannya masing-masing karena memang sekarang adalah jam sibuk bagi mahasiswa untuk belajar dan berdiskusi. Tangan munggilnya masih menggenggam Koran yang hampir terlepas itu karena ukuran tangannya yang tak sebanding dengan beratnya Koran. Sesekali ia menengok kearah orang yang memanggilnya sambil mengelap keringat yang bercucuran dengan bajunya yang “kebesaran” itu. “De, Kompas satu,” teriak seorang mahasiswi yang sedang duduk sambil memainkan gadget-nya, “Dua ribu mba,” kata anak itu sambil menyodorkan Koran.

“Nih, dek.. Loh kok kamu gak sekolah?”

“Ngak mba saya gak punya duit dan harus ngurus adik, makasih mba,” katanya sambil berlari menghampiri seseorang diseberang yang memanggilnya.

Kala itu saya hanya bisa melihat dan termenung menyaksikan realitas yang ternyata masih ada dan dengan mudah dijumpai bahkan dilingkungan pendidikan sekalipun. Saat pelajar sibuk dan memang harus sibuk untuk belajar, anak seumuran dia masih harus berjualan koran guna menghidupi keluarganya. Suatu tanggung jawab yang tidak fair dan tidak bisa kita terima sebab dimasa yang akan datang merekalah calon-calon penerus bangsa.

Pernah penulis mendengar istilah “Orang Miskin dilarang Sekolah” memang agak geli mendengarnya. Entah siapa yang memulai menggunakan ungkapan itu, tetapi melihat situasi yang dihadapi sebenarnya dilapangan dengan banyaknya anak muda yang berkeliaran di jalanan, banyak bocah yang justru menjadi tulang punggung keluarga, dan banyaknya anak yang putus sekolah karena ketidakmampuan orang tuanya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mungkin istilah itu memang pas dan mewakili realitas yang ada.

Masih teringat jelas diingatan kita tentang kisah Tasripin yang menghidupi adik-adiknya seorang diri, ia bahkan memutuskan untuk berhenti sekolah agar ia bisa mencari uang sebab biaya sekolahnya pun ia masih kurang. Ironi memang, anak sekecil itu harus menanggung beban seberat orang dewasa. Lantas, siapakah yang salah? Sekolahnya? Atau pemerintahnya? permasalahan ini bukan sekedar pada siapa yang disalahakan, lebih dari itu kita harus melihat aktualisasi pendidikan itu sendiri terutama dari sudut pandang feedback kebijakan pemerintah. Diawali Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yang isinya setiap sekolah diseluruh Indonesia harus bisa bersaing di dunia internasional dan minimal setiap kabupaten di Indonesia memiliki satu sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Harapan kedepannya sekolah-sekolah RSBI tersebut bisa menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas secara mandiri untuk menjadi percontohan bagi sekolah di sekitarnya dan bisa bersaing tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat internasional. Kebijakan ini langsung di sambut antusias oleh masyarakat luas baik para pendidik ataupun siswa, sebab mereka meyakini sistem yang seperti ini bisa membangun pendidikan Indonesia lebih baik dan lebih berkualitas.

Namun seiring waktu berjalan sekolah RSBI ini mulai keluar dari konteks awal pembentukannya, seperti kita ketahui kualitas yang baik pasti membutuhkan “uang” yang baik pula, sekolah-sekolah di Indonesia mulai bersaing keras untuk mendapatkan status RSBI, dalam persaingan itu mereka membenahi kualitas sekolah agar menjadi sekolah yang modernis dan secara otomatis membutuhkan uang yang tidak sedikit, sebab uang dari pemerintah dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi biaya operasional sekolah berkualitas yang teramat tinggi. Mereka pun menarik uang “lebih” dari para siswanya. Hal ini menciptakan suatu fenomena baru di jagat Pendidikan Indonesia yaitu Kapitalisme Pendidikan dimana kapitalisme muncul karena tiga faktor seperti perkataan Ayn Rand dalam bukunya Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas.

Kapitalisme pendidikan tanpa sadar telah menjangkit Indonesia, ada yang sadar ada yang tidak sadar tetapi bagaimanapun kapitalisme itu tidak selaras dengan nafas Pancasila dan UUD ’45 dimana tertulis “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan” Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, berarti setiap warga negara Indonesia berhak atas hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, bukan hanya orang bermodal saja. Celakanya, sekolah-sekolah kecil yang dari awal memang kurang berkualitaspun malah mengikuti jejak sekolah yang satu kasta diatas mereka, sehingga saat itu hampir semua sekolah menerapkan kebijakan biaya sekolah yang mahal. Lagi-lagi imbasnya adalah masyarakat miskin yang tidak memiliki cukup banyak dana untuk menyekolahkan anak mereka ke jenjang pendidikanlah yang jadi korban. Kembali lagi kepada kebijakan pemerintah di awal, apakah ada itikad baik dari birokrat untuk menjalankan suatu sistem pendidikan sesuai dengan amanat UUD ’45 dan Pancasia?

Menurut Mu’arif dalam bukunya Liberalisasi Pendidikan ada Tiga faktor Problem Pendidikan Nasional :

1. Konsistensi Kebijakan Pemerintah

2. Visi Pendidikan yang harus bernafaskan kerakyatan (Pemerataan)

3. Problem kesadaran masyarakat yang akan menunjang kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia.

Konsistensi Kebijakan Pemerintah masih diragukan banyak pihak. Pemerintah mulai sadar jika Kebijakan tentang sekolah RSBI dinilai kurang tepat sasaran karena hanya berpihak pada orang-orang beruang saja, maka pada tahun 2013 sekolah RSBI secara resmi dihapus karena dinilai terlalu mahal sedangkan kualitasnya seperti itu-itu saja. Sekali lagi masyarakat menyambut gembira penghapusan RSBI ini, ada yang mengatakan RSBI itu terlalu mahal sedangkan kualitasnya pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah biasa, akan tetapi tak sedikit masyarakat yang menilai pemerintah kurang serius(baca: becus) dalam mengurusi masalah Pendidikan Indonesia. 

Kontroversi itu muncul dari salah satu sudut pandang pakar pendidikan yang menilai pemerintah menjadikan dunia pendidikan sebagai kelinci percobaan dengan mengonta-ganti sistem pendidikan . Sebaiknya pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkaca pada Pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” supaya pemerintah lebih berpatok pada pelayanan pendidikan bukan pada peningkatan pendidikan, untuk apa tercipta model pendidikan yang berkualitas dan sangat modern tetapi hanya segelintir orang saja yang menikmati akses pendidikan tersebut.

Keseriusan untuk menyelenggarakan pendidikan nasional bagi seluruh warga negara jauh lebih penting sebab merekalah yang nantinya akan meneruskan jalannya bangsa ini, problematika klasik tentang Anggaran Pendidikan, sistem yang sesuai dan kesadaran masyarakat harus bisa diselesaikan secara tepat dan cepat agar masyarakat tidak lagi dibingungkan oleh kebijakan baru pemerintah yang bentuknya hampir bertentangan dan berkesan main-main.

Pengentasan masalah terkait masih banyaknya anak-anak yang belum mendapatkan akses pendidikan, harus menjadi agenda utama pemerintah sebelum melaksanakan kebijakan-kebijakan baru yang sebenarnya tidak terlalu penting. Agenda dasar ini besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan, sehingga nantinya problematika pendidikan yang lain bisa teratasi dengan mudah.

Keseriusan pemerintah dan kesadarannya akan menjadi kunci utama dalam menjalankan program ini, perhatian pemerintah sudah tidak lagi pada masalah perpolitikan, ekonomi, dan sosial saja tetapi harus memandang pendidikan sebagai hal penting dan mendasar bahan pembentuk karakter bangsa yang berkualitas kedepannya. Hanya melalui pendidikanlah harapan bangsa terwujud seperti perkataan Maroeli Simbolon (2004), “Pendidikan itu benih yang ditabur. Tanpa pendidikan, jangan pernah berharap untuk memetik hasil yang baik.” Problem pendidikan nasional masih belum efektif dalam membawa bangsa ini menuju perubahan yang signifikan, problem tidak efektif menyebabkan sistem pendidikan berjalan acak-acakan. Bahkan sekalipun banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, tetapi tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme justru semakin marak, ini jelas adalah dampak tidak langsung feedback pendidikan Indonesia yang tidak menyetuh seluruh lapisan masyarakat.

Pemerataan pendidikan menjadi penting guna mencapai hasil maksimal, mereview tentang salah satu tujuan negara ini yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa,” dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Sudah cukup jelas dan bersifat mutlak jika setiap warga negara Indonesia wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Dengan segala kemampuan yang ada pemerintah harus sanggup membiayai pendidikan rakyatnya, seyogyanya masalah anggaran bukan malah dijadikan penghambat, sebaliknya anggaran bisa dijadikan sebagai pemulus program ini, jika pemerintah tidak bisa menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang merata maka pemerintahan tersebut dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang gagal.

Di samping itu pendidikan kerakyatan bisa terhambat jika kesadaraan warganya kecil akan kebutuhan akademik. Mereka berasa enggan dan tidak tertarik untuk ikut serta dalam upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kembali lagi ke problem awal, tentang kisah Tasripin yang tidak dapat meneruskan sekolahnya karena kekurangan biaya, serta dirinya harus menanggung beban keluarga, dan kisah anak kecil yang membiayai hidup adiknya dengan berjualan koran di kampus saat teman seumurannya berada di kelas. Kisah tersebut dapat mewakili realitas dan fakta yang ada di lapangan mengapa rakyat Indonesia sungkan untuk menerima pelajaran di bangku sekolah. Di samping persoalan klasik yaitu biaya, ternyata ada kecenderungan lain diantaranya kecemburuan sosial dan keyakinan diri anak serta orang tua yang menganggap pendidikan itu TIDAK PENTING. Kecemburuan sosial timbul saat teman-teman si Tasripin memiliki sisi materiil yang lebih tinggi darinya sehingga kesenjangan sosial pun tercipta di lingkungan pendidikan. Hal itu pun berimbas pada stereotip negatif setiap masyarakat yang berpandangan jika pendidikan tidaklah terlalu penting, disana hanya ajang saling pamer, sekalipun penting itu hanya untuk orang-orang ber-punya saja.

Sudah tentu ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bukan hanya pemerintah saja sebagai penyelenggara negara, tetapi kita semua sebagai warga negara Indonesia. Pembenahan sikap dalam memandang pendidikan itu memang penting, harus ditanamkan sejak awal kepada anak cucu dan masyarakat. Sifat universal education untuk semua kalangan harus terus di perjuangkan dan diawasi, karena itu sebagai landasan awal pembentuk pemerataan pendidikan. Di samping itu, pemaknaan persamaan hak di dunia pendidikan harus kita hargai betul agar tidak muncul Tasripin-Tasripin yang lain, sampai harus keluar sekolah dan bekerja untuk keluarganya.

Lalu, kita harus menjadi contoh untuk anak-anak kita untuk mengubah stigma negatif yang sudah terlanjur menyebar di masyarakat, dengan mendukung, memantau, mengawasi program pemerintah serta tidak melakukan praktek KKN dan hedonisme di lingkungan akademik. Akhirnya, Kita harus belajar kembali memaknai pesan-pesan tersembunyi dalam roh pendidikan tentang arti Keteladanan yang Bhineka, agar sistem kependidikan Indonesia lebih maju dan berkualitas sebagai bekal generasi penerus bangsa di masa depan untuk Indonesia yang lebih baik (amin).


Purwokerto, 28 Mei 2013






Biodata Penulis

Alexander Agus Santosa adalah nama pemberian orang tua saya, dilahirkan 19 tahun yang lalu tepatnya tanggal 19 agustus 1994 di Majalengka Jawa Barat. Saya berasal dari Jawa Barat dan tinggal bersama kedua orang tuaku di Jalan Ahmad Yani No.09 Ds. Cicadas Kec.Jatiwangi Majalengka. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik dan belajar di Ilmu Komunikasi. Semasa kuliah ini saya tinggal sendiri/kos di Jalan Cendrawasih No.07 Grendeng Purwokerto. Saya bisa dihubungi di nomor 08888546164 dan e-mail alex_santoza@gmail.com atau melalui twitter ku @alexandhee.

Posting Komentar untuk "Problematika Pendidikan: Pendidikan Rakyat Untuk Semua, Impian?"